Jumat, 13 Februari 2009

Cerita Di atas Dua Waktu


siang itu panas terasa mengiris ubun-ubun. Arah angin halang kesejukan. Terik mentari terasa hinggap diatas kepala, mata kaki nyeri sampai ke pangkal paha, tak terhitung sudah berapa puluh kilo meter permukaan bumi itu di tempuh. Seorang pria muda menjinjing Map kuning, berisikan berkas-berkas lamaran yang sudah disiapkan dari tempat kostnya, di sebuah sudut kota metropolitan Jakarta. Iqbal tersebutlah pria yang mencoba memenuhi nasib bersama jutaan pendatang lain. Bersaing untuk memperoleh pekerjaan dari kesulitan hidup serta ekonomi negara yang lagi dilanda carut-marut. Sudah lama jejak langkah ditempuhnya, beradu dengan kendaraan nuansa sama diliputi kemacetan.. Alamat kantor yang di carinya belum juga ketemu. Kertas sobekan berwarna putih bertuliskan nama gedung yang di carinya, nampak kotor dan basah oleh peluh keringat, serta kusut-menyusut tak seperti bentuk sebelumnya.

“Permisi mas, mau nanya, tau alamat gedung ini nggak?”. Iqbal bertanya ke seorang pejalan kaki yang tepat berpas-pasan didepannya. “Okh.., alamat ini, itu gedungnya”. (sambil mengarahkan jari telunjuknya). Gedung megah berdiri menjunjung alam langit, gedung berjendela kaca, sama menyerupai gedung-gedung Ibu Kota Jakarta umumnya. Diatas dinding beton gedung tersebut, bertuliskan sebuah nama, Wisma Wishesa. Akhirnya perjalanan melelahkan terbayar sudah. Setelah cukup lama mengitari Pusat kawasan perkantoran ini, akhirnya alamatnya dapat juga ditemukan. Iqbal mencoba masuk kedalam. Belum sampai Ia kea rah lift yang dituju, seorang satpam memanggilnya. “Mau kemana Mas…?” “Ke Lantai 13 pak..!” jawab Iqbal. “ oh..!! yang untuk interview, dari PT. Ansara Group, ada KTP atau tanda pengenal lain ?” Tanpa menunggu lama-lama, Iqbal segera merongoh kantong dan mengeluarkan kertas berisi alamat perusahaan dimana ia dipanggil interview untuk dilihatnya, bersama KTP yang tersimpan di dalam dompet kulitnya yang berada disaku belakang celananya.

“Buruan Mas, kalau nggak salah interviewnya mulai jam sebelas lewat tiga puluh menit”. “Iya pak, saya lama untuk mencari alamat gedung ini”. “Ok…, silakan Mas, untuk mengisi buku tamu”. “Dan menggunakan tanda pengenal tamu selama berada di lokasi gedung ini”, (Seraya memberikan ID Card tamu dengan penjepit dibelakang plastiknya). Segera Iqbal menuju lift, pandangannya menoleh kearah sebuah jam besar tegak berdiri disamping meja resepsionis pengelola gedung, jam besar berbentuk oval dengan arasemen Eropa berwarna coklat, menunjukan pukul dua belas lewat sepuluh menit.

Bersambung......!


Minggu, 17 Februari 2008

Perjalanan Atas Nama Spirit

“Semua orang bisa menjadi seperti apa yang diharapkan, tapi harapan itu berhasil atau tidak tergantung dari kemauan dan usaha orang itu sendiri”. Bisa jadi, karena, tidak mungkin kita bisa menjadi seperti apa yang kita harapkan tanpa suatu perjuangan dan kerja keras. Saya tidak punya gambaran jelas dan pasti, apa yang membuat keinginan saya untuk menjadi seorang penulis, tapi yang muncul dalam benak saya, istilah buku adalah “jendela pengetahuan”, sebuah idiom atau ungkapan ini sering kita dengar, tentunya, seorang penulislah yang membuka jendela tersebut sehingga cakrawala pemikiran, pengetahuan, dan Ilmu, dapat diterima oleh kalangan pembaca, sehingga secara tidak langsung bila saya menekuni dunia tulis-menulis, berarti saya ikut membuka sebuah jendela pengetahuan.

Tapi, sifat pesimis, dan tidak memiliki rasa percaya diri menyebabkan berbagai kendala-kendala yang sampai saat ini mempengaruhi intuisi menulis saya. Tekad, berpikir positif, harus…dan harus…yang membuat saya untuk datang mencari cara bagaimana agar dapat belajar, mengasah pola menulis dan mengarang saya agar lebih baik dan sempurna. Akhirnya suatu ketika saya menemukan Pak Maman, sehingga hari itu, bersama niat dan sebuah semangat besar saya melakukan sebuah perjalanan dari tempat kost kerumah Pak Maman di daerah Bojong Gede. Beliau adalah seorang Dosen sastra di Universitas Indonesia sekaligus dikenal sebagai kritikus sastra saat ini. Perkenalan dengan pria kelahiran Cirebon ini adalah suatu pertemuan yang tidak disengaja. Hal itu bermula ketika niat untuk belajar menulis saya sudah muncul sejak dahulu, akan tetapi saya belum memiliki sarana pendukung untuk memperdalam dunia ini, sehingga muncul dalam benak saya untuk mencari sesosok penulis besar untuk belajar hal itu darinya. Di pikiran saya, untuk menjadi seorang yang sukses dalam bidang apapun harus belajar dari orang yang profesional dibidangnya.

Hal itu yang membawa suatu keinginan besar untuk mencari seorang penulis untuk belajar, dibenak saya saat itu ingin belajar dari seorang novelis. Hingga timbul setitik ide untuk bertemu dan menyampaikan keinginan untuk belajar dari pengarang novel wanita (Ayu Utami), yang popular dengan novelnya yang berjudul “Saman”. Banyak waktu saya habiskan untuk mencari waktu dan momen tepat untuk menyampaikan keinginan ini, sampai-sampai hampir tiap hari saya tidak menyisakan waktu untuk tidak bertandang ke Teater Utan Kayu (TUK), di kedai Tempo, yang katanya tempat berkumpulnya para aktivis LSM, penulis dan kuli tinta, yang diantaranya Mbak Ayu Utami. Jalan setapak TUK menjadi saksi diam setiap kehadiran saya, untuk menemukan sastrawati ini. Sampai suatu ketika melalui papan iklan di depan Teater Utan Kayu, dari selembar kertas informasi yang berwarna jingga, terpampang sebuah tulisan dengan tema “Sastrawan wanita dan Agama”.

Akan diadakan seminar bertempat di sebuah hotel berbintang lima di bilangan kota Jakarta, salah satu pembicaranya adalah seorang wanita yang sampai ketika terbaca dalam iklan itu, belum saya temui, dan kalau seandainya seorang karyawan Kantor Berita Radio 68 H memberikan alamat rumah Mbak Ayu sudah barang tentu, saya tidak perlu lagi untuk mencarinya dengan susah payah. Tapi dipikiran tokh…pada hari H-nya juga pasti ketemu, buat apa dipermasalahkan. Membaca kabar itu, Ibarat mendapat durian runtuh yang jatuh dari pohon. Satu persoalan terpecahkan muncul masalah baru, ternyata pelaksanaan seminarnya bertepatan pada jadual ujian akhir semester dikampus, dan saya harus berani mengambil suatu keputusan, pilihan mana yang harus saya pilih?, pertama; ikut UAS dan kehilangan harapan dan mencari Mbak Ayu dengan cara seperti sebelumnya, atau tidak ikut UAS tapi kompensasi bayar untuk ikut ujian susulan dan datang ke seminar, pusing juga. Dan masalah ini ibarat juga dengan durian runtuh tapi jatuhnya diatas kepala sendiri, bukan diatas tanah.

Walaupun hari yang di tunggu-tunggu itu datang, tidak seperti yang diharapkan, maksudnya tidak berhalangan waktu dengan aktifitas lain, apalagi ujian akhir semester, tapi dengan berat hati saya memilih datang demi sebuah pertimbangan cita-cita untuk berkecimpung di dunia tulis-menulis. Prosesi acaranya berjalan dengan sukses dan lancar, baik dari awal sampai akhir acara tersebut diikuti dengan penuh antusias oleh semua yang hadir. Setiap sesi acara, saya ikuti dengan khidmat, walau isi dan pikiran saya waktu itu, penuh dengan pertanyaan-pertanyaan, bagaimana cara menyampaikan dan membujuk Mbak Ayu, agar mau meluluskan niat dan keinginan hajat saya ini. “Sorry saya nggak ada waktu”, “biar pun ngedit tulisannya melalui e-mail”.

Bagai petir di siang bolong, kata-kata itu seperti meruntuhkan keinginan yang terbangun dengan pondasi optimisme, harapan, cita-cita serta semangat besar. Tapi mungkin Tuhan berkendak lain; kesedihan, kegundahan hati, dan keputusasaan, diganti dengan kegembiraan, optimisme dan harapan baru. Di antara pembicara-pembicara baik; Ayu Utami, Gadis Arivia, Camilla L Gibb, hadir pula seorang kritikus sastra, yang adalah pengajar di Universitas Indonesia yang lokasi kampusnya bertempat di daerah pinggiran Jakarta Yakni, Bapak Maman S Mahayana. Di dalam selebaran fotokopi yang di bagikan oleh para panitia ada beberapa tulisan tangan oleh para pembicaranya telah diketik biodata, serta isi maupun topik, yang menjadi pokok pembahasan dari apa-apa yang menjadi pembicaraan didalam seminar. Salah satunya Bapak Maman sendiri, beliau menulis mengenai sejarah perjalanan sastra, generasi setiap masa dan titik naik turunnya sebuah alur sastra Indonesia.

Di dalam selembaran itu pula tercatat bahwa Pak Maman mendirikan sebuah sanggar sastra dengan nama “mata air”, laksana mencari sebutir mutiara tetapi saya temukan setitik berlian, saya mendapatkan lebih dari yang diharapkan, yakni Pak Maman itu sendiri. Dan ketika beliau sedang dikerubuti oleh beberapa orang, saya ikut pula datang menghampiri pria ini. Tidak hanya menyanggupi, dia memberikan nomor telepon rumahnya untuk saya, agar dapat menghubunginya. Dan Sabtu itulah saya bertandang kerumahnya setelah perjumpaan tak disengaja pada 7 bulan lalu. Setelah membuat janji pada satu hari sebelumnya. Dengan sebuah tekad, untuk datang kesana. Perjalanan ini bagi saya tidak terlalu sulit, sebab, rumahnya sudah saya datangi pada hari rabu.

Tapi perjalanan kali ini lain, harus berkesan, saya harus bertemu dengan beliau, karena, seingat saya hanya berbicara beberapa kali dengannya melalui handphone. Dengan ditemani tas ransel kesukaan saya, dan sebuah buku pinjaman dari teman kuliah, saya berangkat menuju kerumahnya. Dengan mengambil jalan protokol Pramuka untuk mencari metro mini yang kearah Stasiun Manggarai, dengan ayunan langkan kaki terburu-buru, dan sesekali berlari kecil agar tidak terlambat dari janji yang saya buat, bergegas dengan semangat untuk sampai ke Bojong Gede. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke Pramuka, hanya 500 meter untuk mencari metro mini yang melewati arah Stasiun Manggarai. Tak berapa lama berjalan, Metro Mini 49 dengan rute Manggarai-Rawamangun seperti sedia menunggu, berhenti tidak jauh dari pembatas kereta bersama puluhan berbagai kendaraan yang lain, sinyal dari pos penjaga lintasan kereta berbunyi, sebuah kereta pengangkut barang melintasi rel dari arah timur menuju kearah barat, Bersamaan dengan pijakan kaki kanan saya untuk naik keatas metro mini sambil mencari bangku yang kosong, saat itu saya lebih memilih untuk duduk dikursi paling belakang, padahal tidak banyak kursi penumpang terisi kala itu.

“Bang Stasiun Manggarai”. Saya memberitahu kondektur untuk memberhentikan bis pas depan jalan menuju Stasiun Manggarai, memang saat itu jembatan dekat terowongan Mall Pasar Raya Manggarai tinggal 10 meter lagi. Bis berhenti di persimpangan jalan, secepatnya saya melompat sebelum bis mengerem. Tepat didepan loket penjualan karcis kereta, saya merogoh saku dan mengambil dua lembar uang seribuan, petugas karcis mengambil uang dari saya dan menyerahkan secarik kertas kecil. Stasiun tampak sepi tidak seperti hari biasanya, mungkin karena hari itu hari sabtu, banyak para karyawan kantor-kantor pemerintah maupun swasta tidak bekerja (libur). Di tempat tunggu kereta tampak lenggang, yang terlihat hanya beberapa pedagang kaki lima yang sibuk menjajaki barang-barang dagangannya, dan penumpang yang menunggu kereta menuju ke beberapa stasiun tujuan.

*Kegelisahan bak timbul tenggelam, maklum sudah tak sabar hati saya, untuk sampai ke Bojong Gede. Sesekali berdiri, tapi tidak lama kemudian saya duduk kembali dari bangku dimana tempat saya duduk itu. Tidak berapa lama saya berdiri lagi dan mencoba untuk duduk lagi, ternyata, dari pengeras suara dari kantor petugas Stasiun Manggarai memberitahukan bahwa pada jalur lima kereta tujuan Bogor akan memasuki Stasiun Manggarai.

Akhirnya, kereta listrik buatan Negara (Jepang) Sakura muncul juga. Setelah kereta berhenti, seperti tampak biasanya, para penumpang KRL naik berdesak-desakan, sehingga agak sulit untuk masuk ke gerbong kereta. Sudah tidak ada bangku lowong yang tersedia, semua telah disesaki oleh penumpang dari stasiun-stasiun sebelumnya. Saya berdiri sambil memegang potongan besi diatas kepala bangku penumpang, yang juga tempat barang-barang bagi penumpang. Tas dan buku yang saya bawa diletakan disitu. Kereta melaju cukup cepat, sehingga menciptakan pemandangan fatamorgana diluar kereta yang terlihat dari balik jendela berkaca.

Pepohonan berlari dan saling kejar-kejaran. Areal persawahan, perbukitan, gunung, rumah-rumah penduduk, seperti memacu pergi dari arah sebaliknya. Bukit-bukit indah nan menghijau, melukiskan nuansa alam iklim tropis. Di dalam kereta sendiri, para penjual berbagai macam dagangan mondar-mondir ke gerbong-gerbong menawari aneka dagangannya. Di batin saya, ini mungkin ciri-ciri suatu Negara berkembang di semua Negara, pemerintah tidak dapat menyediakan suatu lapangan pekerjaan, sehingga, sektor informal jadi bahan rujukan kehidupan semua rakyat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Tidak lebih dari 30 menit di dalam goncangan KRL tujuan Bogor, kereta sudah memasuki wilayah Bojong Gede. Akhirnya kereta sampai juga, tepat di areal Stasiun Bojong Gede. Hup….! saya melompat dari atas kereta ke bawah menginjak tanah latar stasiun. Gerbong tempat saya naik kebetulan tidak sampai ke lantai tanah tempat turunnya penumpang. Hanya beberapa a langkah pijakan kaki saya sudah berada diluar Stasiun Bojong Gede. ”Bang, kalau ke kampung sawah poncol, Gg Asem, naik angkutan apa”. Saya mencoba bertanya ke salah-satu tukang ojek yang mangkal di depan Stasiun.

Jari telunjuk tukang ojek itu, mengarah ke sebuah angkot biru yang jarak tidak jauh dari saya berdiri. Saya naik keatas angkot, tapi sebelumnya, meminta si supir untuk menurunkan saya di tempat saya akan turun. Tidak sampai sejauh 1 kilometer. Angkot yang saya naik berhenti. ”Bang, ini bang, gangnya”. Segera saya turun.

Di depan pintu penumpang dari balik jendela yang terbuka, dua lembar uang seribuan saya serahkan, bersamaan dengan ungkapan rasa terima kasih atas bantuan segala jasanya.

Kali ini cuaca sangat terik, hawa panas matahari di siang bolong, menyengat sampai ke pori-pori tubuh. Jalanan aspal membentuk fatamorgana indera penglihatan bagai terlihat siklus air dibawahnya. Jembatan kecil saya lewati, selanjutnya rel kereta yang membentang diatas tanah sejauh batas mata memandang. Hati saya kini berdebar-debar, berkecamuk laksana arus air dari jembatan yang saya lewati tadi. Intrik antara semangat dan rasa takut bercampur malu.

Di depan sebuah rumah asri bercat kuning muda. Saya berdiri, seraya membuka pintu pagar berwarna putih yang tidak di dikunci. Sambil memberi salam, perlahan, selangkah demi selangkah kaki, masuk menuju ke pintu rumah tersebut. Sahutan salam kembali terdengar untuk yang kedua kali, ketika pintu ruang tamu telah terbuka.

Bersambung……… lagi !

Senin, 11 Februari 2008

Si manis dan si pahit rupa


Cerbung


Dahulu kala di sebuah kerajaan makmur. Bertahtalah seorang Raja Bernama Ruli. Ia adalah raja bijaksana, baik budi pekerti, sehingga rakyat sangat menghormati dan menjunjungnya. Kerajaannya memiliki kekayaan yang melimpah ruah, ladang dan sawah tumbuh subur dengan hasil panen yang berkah, perekonomian rakyatnya tercukupi serta hidup dengan aman dan sejahtera. Tidak jauh dari kota kerajaan, di sebuah desa dipinggiran hutan.


Tinggalah seorang pria paruh baya, Heru, bersama dua orang putrinya, yang sulung berusia 12 tahun dengan nama Sri Retnowati dan putri bungsunya 9 tahun diberi nama Puspa Ningrum . Retno adalah seorang pemalas, tidak terlalu cantik parasnya, tidak baik budi pekertinya dan memiliki kebiasaan mengeluh, dan kadang kala meminta sesuatu hal terhadap ayahnya yang tidak mungkin sanggup dituruti oleh kehendak ayahnya. Sebaliknya, Puspa, adalah seorang gadis cantik, riang, pintar, baik hati dan suka membantu pekerjaan-pekerjaan ayahnya dengan mencari kayu bakar, serta mengurus pekerjaan-pekerjaan di dapur.